Senin, 15 Desember 2008

Kerukunan hidup beragama; Antara Harapan dan Realita (bag.1)

AGAMA, PLURALITAS ETNIK DAN PROBLEM INTEGRASI NASIONAL
Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam membangun apa yang disebut dengan negara bangsa adalah keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama dan nusa. Penjajahan yang panjang memberikan pengalaman bersama sebagai sebuah bangsa dalam arti penderitaan dan ketidakberdayaan. Sebelum itu Indonesia belum ada. Bahkan nama Indonesia sendiri dicipta oleh James Richardson Logan, seorang antropolog berkebangsaan Inggris. Logan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi nama penduduk dan dan kebudayaan yang terbentang antara Benua Asia dan Australia. Nama Indonesia yang diusulkan Logan hanya ada dalam cataran kaki dari karya tulisnya yang berjudul “The Ethnology of Indian Archipelago” yang dimuat dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia terbit di Singapura tahun 1850. selanjutnya nama Indonesia diperkenalkan sebagai judul buku Indonesien, oder die Insel des Malayischen Achipls yang diterbitkan di Leipziq tahun 1884 dan 1889. Buku tersebut ditulis oleh ahli antropologi Jerman, Adolf Bastian (Harsya W. Bahctiar, 1987).
Beberapa kesultanan dan kerajaan memang telah lama berdiri di wilayah ini. Kekuasaan kesultanan dan kerajaan tersebut terbatas pada teritorial tertentu dan tidak satupun kerajaan atau kesultanan yang menggunakan nama Indonesia. Begitu juga kepulauan dan kesukubangsaan yang mendiami wilayah ini tidak ada satupun yang menggunakan nama Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda juga tidak menggunakan nama Indonesia untuk wilayah jajahannya itu melainkan menggunakan nama Hindia Belanda.
Pengalaman menghadapi kaum penjajah dirasakan bersama sehingga kesultanan Samudra Pasai dan Demak berkolaborasi untuk mengusir Portugis di Malaka pada tahaun 1511. kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus hingga Ratu Kalinyamat memang secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap Portugis, namun selalu gagal. Satu-satunya keberhasilan Demak adalah kemenangannya mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa (Jayakarta) di bawah pimpinan Fatahhilah. Kesultanan Ternate juga melakukan perlawanan terhadap Portugis dalam masa yang panjang. Kalah menang silih berganti dari kedua belah pihak. Kekalahan di pihak pribumi lebih sering ketimbang kemenangan yang dicapai. Pengalaman yang sama juga juga dialami oleh para sultan pada zaman penjajahan Belanda, sebagaimana ditunjukan oleh Sultan Palembang, Banjarmasin, Sultan Agung Mataram dan seterusnya. Pengalaman bersama bangsa Indonesia menghadapi pemerintah Kolonial melahirkan perasaan kolektif sebagai suatau bangsa yakni bangsa terjajah.
Penjajahan menghangatkan hubungan antara kerajaan atau kesultanan yang satu dengan yang lain, melalui kesamaan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Islam sebagai agama mayoritas penduduk memepunyai peranan besar karena menjadi identitas atau jati diri yang membedakan dengan kaum penjajah. Ciri-ciri fisik (ras) yang berbeda antara Melayu (Malay Mongolia) yang mendiamai wilayah barat Nusantara dengan ras Austroloid yang berada di timur tidak menjadi masalah. Agama Islam tidak membedakan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik (rasial). Islam dengan ajaran egalitarianismenya berhasil menghapus sistem kasta.
Prinsip ajaran agama yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar utama terwujudnya bangunan kebudayaan Islam Nusantara. Apalagi setelah bahasa Melayu diterima sebagai bahasa ibu (lingua franca). Praktis seluruh penduduk Nusantara dapat berkomunikasi antarsatu suku dengan yang lain dengan bahasa ini. Pengaruh Islam dan bahasa Arab sangat besar terhadap pembentukan bahasa Melayu. Pada awalnya bahasa ini ditulis dengan menggunakan huruf Arab, begitu juga kosa kata yang dipergunkan banyak menyerap dari bahasa Arab. Bahasa Melayu dan pengalaman serta perasaan bersama dalam kurun waktu yang panjang mengkristal menjadi ideologi bangsa Indonesia dan mucul sebagai gerakan ideologis satu nusa, satu bangsa dan satu bahas Indoneisa.
Ketika Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, kesadaran bersama sebagai bangsa menghadapi ujian. Faham kebangsaan (nasionalisme) Barat yang dipelajari dan dipahami oleh sebagian pemuda terpelajar menjadi alternati utama sebagai falsafah negara. Kendatipun sukuisme untuk sementara tidak ditonjolkan, lokalitas pulau tidak lagi menjadi hambatan, akan tetapi persoalan ideolgi bangsa ini menjadi polemik berkepanjangan. Polemik tersebut terjadi dalam diskusi, tulisan atau artikel di berbagai media masa dan hingga dalam rapat-rapat BPUPKI. Selain kaum terpelajar dan berpendidikan barat yang mengusulkan nasionalisme sebagai ideologi negara, ada pula kelompok yang menghendaki negara berdasarkan agama (Islam). Diskusi ini akhirnya dapat diselesaikan denga kompromi yakni dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Sayangnya dalam proses penerimaan Pancasila sebagai dasar negara ini terdapat perubahan dari kesepakatan semula yakni mukadimah atau pembukaan UUD 1945, Piagam Jakarta, mengalami pencoretan tujuh buah kata”kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” pada saat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. perubahan ini menimbulkan luka yang dalam bagi sebagian umat Islam, yang kemudian hari selalu memunculkan tuntutan untuk dihidupkannya kembali.
Inilah awal, babak baru, pergumulan politik yang panjang sebagai sebuah bangsa. Dasar negara ini berimplikasi pada kebijaksanaan pemerintah berkenan dengan hubungan antar negara dengan agama, agama dan masyarakat serta hubungan antara agama, masyarkat dan negara. Sejarah pertentangan antar anak bangsa telah terjadi setelah Indonesia merdeka dengan diproklamirkannya Darul Islam (Negara Islam) oleh S.M Kartosuwiryo dan kemudian diikuti oleh Kahar Mudzakar di Sulawesi selatan dan Tengku Muhammd Daud Beureuh di Aceh. Faham dan gerakan ini terus berkembang meskipun bermetamorfose dalam berbagai gerakan sosial keagamaan.
Sebaliknya di pihak lain upaya untuk menjadikan Indonesia berfaham komunis juga muncul dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, pada zaman revolusi. Hingga sekarang, meskipun mayoritas umat Islam telah menerima Pancasila, banyak pihak yang menganggap terjadi penghianatan terhadap perjanjian luhur yang telah disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 . begitu juga dengan penganut faham komunis, kendatipun telah dilarang setelah terjadinya pemberontakan G.30.S/PKI, ternyata masih banyak orang yang merindukan faham tersebut sebagai dasar perjuangannya. Gerakan sosila yang berdasarkan faham sosialisme demokrat menjadi alternatif untuk melawan hegomoni kapitalisme.
Agama merupakan masalah yang sangat sensitif bagi masyarakat bangsa, karena agama merupakan identitas suci dibandingkan identitas sosial lainnya. Ketika terjadi krisis, agama menjadi simbol pemersatu di satu sisi, pada sisi lain agama menjadi faktor pemecah belah. Krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997 hingga sekarang menunjukan agama sebagai gejala sosial yang lebih bersifat memecah belah kesatuan dibanding dengan mempersatukannya. Kerusuhan sosial di Poso, Sulawesi Tengah pada tahun 2000 sangat bernuansa agama. Meskipun tidak semua kasus tersebut dipicu oleh persoalan yang berhubungan dengan agama, tetapi awal kerusuhan di NTT pad akhir tahun 1995 itu bermula dari kasus hostia. Perlu diperhatikan, barangkali ada hubungan antara kejadian di lingkup nasional berkaitan dengan dunia global. Pertanyaannya adalah mengapa konflik di tingkat dunia mengalami pergeseran, dari konflik yang bersifat ideologis (komunisme VS Kapitalisme) menjadi konflik-konflik kultural yang melibatkan kelompok identitas, baik ras, etnis maupun agama.
Sebagai bangsa yang masih muda, Indonesia mengalami dua model pemerintahan. Tahap pertama, pemerintahan Presiden Soekarno menempatkan politik sebagai panglima, berlangsung selama lebih 20 tahun. Tahap kedua, pemerintahan Presiden Soeharto memandang pembangunan (modernisasi) sebagai jawaban terhadap visi bangsa yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Masing-masing memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan dilihat dari aspek integrasi bangsa. Pada pemerintahan model pertama melahirkan konflik yang berujung pada pemberontkan. Ada pememberontkan DI/TII, PRRI/Permesta, RMS dan G30S PKI. Tidak berbeda dengan pemerintahan model pertama, pemerinthan Soeharto juga melahirkan perlawanan dari rakyat. Ketika Soeharto jatuh bangsa Indonesia terancam disintegrasi tidak hanya dalam arti lokalitas tetapi juga kepada primordialisme.
Pemerintahan transisi setelahnya (Presiden B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid) mencoba membangun kembali persatuan dan kesatuan bangsa dengan berbagai cara. Salah satu cara yang ditawarkan adalah otonomi daerah pada daerah kabupaten dan kota berdasarkan UU No.22 tahun 1999. selain otonomi juga pembagian hasil keuangan antara daerah dan pusat (UU No.25 Tahun 1999). Persoalan utama yang masih tertinggal yakni politik agama dan keanekaragaman etnik di era Indonesia baru, belum sempat dibicarkan secara intensif. Padahal, pada sidang tahunan MPR bulan Agustus 2000 telah muncul gagasan untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945 oleh beberapa fraksi. Di sisi lain terdapat kelompok masyarakat yang menolak gagasan tersebut dan mengancam memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Tulisan pluralitas etnik sebagai tantangan integrasi bangsa dan juga sebaliknya menjadi bagian dari kekuatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Kata Pembuka

Perjalanan cinta tak mesti
sampai kepuncak,
Kalau terpaksa berhenti
dan luka hadir di hati,
Terimalah dia apa adanya
tapi... jangan hindari
cinta yang lain
Karena kita semua tau
hidup tanpa cinta
Adalah...
perjuangan yang sia-sia"

To Contac me