Kamis, 18 Desember 2008

Kerukunan Hidup Beragama; Antara Harapan Dan Realita (bag.2)

Agama dan Konvergensi NasionalDari berbagai studi kesejarahan menunjukkan bahwa masyarkat Indonesia adalah masyarakat agamis. Agama dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah memainkan peranan yang sangat penting. Ketika awal-awal peradaban nusantara, Hindu dan kemudian Budha telah diterima sebagai sumber referensi kebudayaan, kemasyarakatan dan juga pemerinthan. Begitu juga ketika abad pertengahan dan masa penjajahan, Islam menjadi referensi utama dalam tatanan sosial, budaya dan politik. Di beberapa daerah dimana tidak terdapat kerajaan Islam, Kristen juga memperoleh pengaruh yang cukup kuat, seperti di Indonesia bagian timur dan beberapa daerah lainnya. Islam bahkan menjadi fenomenaa dan simbol perlawanan terhadap penjajahan.
Islam datang dan berkembang melalui perdagangan dan penetrasi kebudayaan. Kebudayaan yang semula didominasi oleh Hindu dan Budhha, digantikan dengan ajaran-ajaran, nilai-nilai dan kebiasaan Islam. Pemerintahan Hindu Buddha (Majapahit) juga berakhir dengan kedatangan Islam dan diubah menjadi kesultanan yakni sebuah konsep yang mengacu pada kondisi dan tradsi Timur Tengah. Pemerintahan dengan simbol-simbol ke-Islaman muncul mulai dari utara (Aceh) sampai ke selatan (Mataram). Dari barat mucul kesultanan-kesultanan Melayu hingga kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan di wilayah Timur. Pemerintahan Islam (kesultanan) salaing berhubungan dan bersahabat, tetapi kadang-kadang juga saling bertentangan, melahirkan kebudayaan Islam Nusantara dengan peninggalan utamanya bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa nasional bahasa Indonesia.
Hampir bersamaan dengan kedatangan Islam, bangsa-bangsa Barat (Kristen) juga hadir di Nusantara. Kehadiran merekatentu saja membawa pengaruh terhadap proses Islamisasi yang masih belia. Pengaruh Islam belum secara luas diterima oleh masyarakat pedalaman. Islam baru diterima oleh masyarakat pesisir. Jika kemudian Kristen memiliki wilayah-wilayah yang pengaruhnya seperti Tapanuli Utara, Minahasa, Toraja, pedalaman Kalimantan Timur dan Maluku Selatan adalah hal logis. Agama-agama lama juga masih bertahan seperti agama Hindu di Bali, Hindu Budhha di Tengger dan religi masyarakat lokal atau sederhana di berbagai wilayah. Kergaman bangsa yang terdiri dari berbagai etnik menjadi semakin mengental dengan agama yang menjadi identitas kedua mereka. Agama-agama ini masing-masing memiliki sistem keyakinan, falsafah, pengetahuan serta nilai dan aturan. Simbol atau lambang yang digunakan juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Singkatnya, masing-masing kelompok penganut agama memiliki kebudayaannya sendiri. Hasilnya adalah penduduk Nusantara (Indonesia) yuang juga dilihat dari agama yang dipeluk memperlihatkan bahwa Islam menduduki posisi mayoritas (87,5%). Selebihnya ada Kristen, Katolik, Hindu, Budhha dan agama-agama atau keyakinan lokal.
Keragaman penduduk dilihat dari segi agama merupakan realitas sosial dan sejarah. Keragaman menjadi masalah jika tidak diikat oleh penyatuan yang disebabkan oleh munculnya negara atau bangsa yang baru. Konvergensi nasional adalah jawaban yang tetap terhadap masalah di atas. Konvergensi yang dimaksud adalah penyatauan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kebudayaan nasional dalam suatu wilayah tertentu. Konvergensi menjadi masalah berhubungan dengan berdirinya suatau negara bangsa baru (Nation State). Konvergensi nasional (integrasi) merupakan penyatuan suatu bangsa yang mencakup semua aspek kehidupannya, sosial politik, ekonomi dan budaya baik vertikal maupun horizontal (Nasarudin Syamsudin, 1996). Harsya W. Bachtiar mengusulkan kebudayaan nasional sebagai solusi masalah integrasi, yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita semua sebagai entry point dalam konvergensi nasional (Bachtiar, 1978). Dalam rangka persatuan dan dan kesatuan bangsa diharpakan agar antargolongan yang berbeda, masing-masing berpegang pada kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bersama, yaitu kebudayaan Indonesia.
Banyak orang mempertanyakan apa itu kebudayaan Indonesia. Orang masih samar-samar melihatnya. Kebudayaan yang terlihat masih dominan adalah kebudayaan lama yakni kebudayaan suku bangsa seperti; Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bali, Sasak, Melayu, Dayak, Madura dan seterusnya. Padahal, kita sudah memiliki bahasa yang sama yakni bahasa Indonesia. Pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan hukum atau peraturan yang bersifat nasioanal. Semua itu belum menjamin terciptanya konvergensi nasional. Seperti dalam beberapa tahun terakhir kerusuhan yang sangat kental dengan araoma suku dan agama terjadi di mana-mana.
Integrasi nasional dapat terwujud bila individu mapaun kelompok bersedia mendialogkan “peremintaan” dan “penawaran” antara pihak-pihak yang bersangkutan. Kekerasan yang muncul akhir-akhir ini pada dasarnya menuntut prinsip “permintaan” tertentu. Sayangnya “permintaan” tersebut tidak pernah terjadi dalam dialog realistik, melainkan simbolik dan samar-samar. Saya kira semua pemerhati masalah sosial keagamaan dapat merasakan adanya masalah di sekitar “permintaan” terselubung berkaitan dengan ungkapan “diktator mayoritas dan tirani minoritas”. Persoalan ini belum pernah terpecahkan secara mendasar. Konvergensi nasional semakin rentan karena minimnya rasa kebersamaan dan melebarnya perbedaan, negara dalam hal demikian, dituntun berkemampuan dalam mengembangkan sistem politik nasional yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat dan berkemampuan mengembangkan desentralisasi pemerintahan (Saafroedin Bahar dan Tangdililing 1996, 53-62).
Bagaimana agama memberikan kontribusi bagi konvergensi nasional? Agama atau ideologi sebetulnya merupakan satu aspek saja dari proses konvergensi, namun ia menempati posisi yang kuat dan menentukan. Menurut Geetz (1973:52-53) pembentukan negara yang berdaulat timbul karena faktor-faktor sentimen primordial. Begitu juga ketika bangsa Indonesia merdeka masalah utama yang menentukan kelangsungan sebuah negara baru adalah persoalan ideologi negara. Dapat dibayangkan bagaimana seandainya tokoh-tokoh umat Islam “keras kepala” tidak mau menerima pencoretan tujuh buah kata pada kalimat pembukaan UUD 1945?.
Hampir pasti, disintegrasi, Indonesia tidak lagi dari sabang sampai merauke atau bahkan tidak pernah merdeka. Agama (Islam) telah memiliki pengalaman sejarah dalam mengelola pluralitas. Piagam Madinah dapat menjelaskan bagaiman perjanjian untuk hidup bersama dan bekerjasama untuk membangun masyarkat yang adil, aman dan sejahtera (mu’ahadah al ijtimaiyah). Nilai-nilai moralitas dan hukum-hukum tentang perjanjian (al wa’du) konfiden (al amanah), toleran (at tasamuh) merupakan sumber pengetahuan dan prilaku kebersamaan. Di samping itu Islam juga mengembangkan prinsip “titik temu” atau kalimatun sawa’ dalam rangka hubungan antar golongan agama dalam sebuah komunitas atau nation (masyarakat madinah). Landasan teologisnya adalah Al Qura’an, surat Ali Imran ayat 64 :
قُل يَا أَهْلَ الكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“katakanlah : hai ahli kitab, marilah kepada suatu kalimat yang sama yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagain kita menjadikan yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka; saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah”
Pancasila sebagai ideologi dan nilai moralitas serta acuan bagi kehidupan manusia Indonesia secara teologis adalah legal dan syah. Pemimpin umat, sebagai representasi mereka telah menetapkannya. Begitu juga kajian ulama setelahnya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan falsafah Pancasila adalah final. Implikasi pandangan teologis terhadap falsafah negara menuntut warga negara untuk melaksanakan dan menjadikannya acuan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas konvergensi atau integrasi nasional. Keberhasilan bangsa Indonesia membangun nation baru sudah tentu terikat dengan banyak faktor, termasuk faktor agama dan umat beragama. Begitu juga kesatuan dan persatuan bangsa (konvergensi nasionla) tidak daopat mengabaikan peranan agama dan umatnya. Agama di Indonesia merupakan bagian dari masalah yang rawan dalam hubungan berbangsadan bernegara. Seperti aspek budaya lainnya, suku, ras dan golongan, agama seringkali menjadi faktor pemecah belah persatuan dan kesatuan jika tidak dimenej dengan baik dan arif.
Hubungan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarkat yang menyangkut kekerabtan, ketetanggaan, pekerjaan dan bahkan birokratik, maupun politik, umumnya tidak menjadi masalah. Persoalan menjadi mengemuka bila terjadi upaya-upaya yang mengarah pada dominasi antara satu dengan yang lain. Dominasi ekonomi dan politik seringkali menjadi sebab tumbuhnya perasaan saling curiga dan berkembang menjadi konflik. Pertentangan warga atau kelompok masyarakat disebabkan oleh agama banyak dinafikan. Konflik atau pertentangan lebih disebabkan faktor-faktor perebutan kekuasaan atau sumber-sumber kehidupan. Karena agama dan etnik merupakan identitas yang bersifat primordial maka keduanya seringkali mengemuka dalam setiap pertentangan.
Agama, ketika ia telah diterima oleh sebauah masyarakat juga mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat. Hubungan pengaruh mempengaruhi antara agama (tardisi besar) dengan kepercayaan lokal (tradisi kecil) tak terelakkan, termasuk dalam merumuskan dasar dan falsafah negara. Ketika para pemimpin bangsa dan sekaligus pemimpin umat beragama berdiskusi untuk merumuskan dasar negara, tentu saja bersinggungan dengan agama. Ada dua macama peranan yang masing-masing harus dilaksanakan. Pada satu sisi adalah anggota jamaah atau umat dan sisi lain adalah warga negara. Sebagai pemimpin umat ia harus memperjuangkan prinsip-prinsip ajaran agamanya sebagai dasar negara, tetapi pada sisi lain ia harus menenggang perasaan kelompok atau umat beragama yang lain. Kristalisasi hubungan antara agama rakyat dengan agama-agama besar dan antargama besar satu dengan yang lain, dalam kaitannya dengan rumusan dasar negara bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Jadi Pancasila merupakan tempat pertemuan semua ideologi lokal, nasional dan bahkan universal. Admodarminto melukiskan hubungan antara tradisi masa lalu, pra Hindu, yang terus terjaga hingga munculnya agama Islam sebagai negara (kesultanan) dengan apa yang disebut agama atau gerakan rakyat dalam bentuk simbolisme Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajahmada dan Soko Tatal masjid Demak oleh Sunan Kalijaga (baca Babad Demak). Simbolisme tersebut merupakan bentuk awal dari Pancasila. Disinilah posisi agama dalam konvergensi nasional. Bagaiman dengan pluralitas kesukubangsaan dalam kaitannya dengan integrasi nasional?

Tidak ada komentar:

Kata Pembuka

Perjalanan cinta tak mesti
sampai kepuncak,
Kalau terpaksa berhenti
dan luka hadir di hati,
Terimalah dia apa adanya
tapi... jangan hindari
cinta yang lain
Karena kita semua tau
hidup tanpa cinta
Adalah...
perjuangan yang sia-sia"

To Contac me